Bagikan ke :

 

Penulis : Chaidir

LAMPUNG — Semenjak awal kemunculannya di nusantara, golongan bumi putra yang berani melakukan pergerakan melalui bahasa dan kata-kata selalu mendapat kecaman dan pertentangan dari kalangan pejabat Hindia Belanda. Karena memang sedari dulu, sifat kritis selalu dianggap ancaman bagi penguasa. Bahkan setelah lebih dari satu abad berlalu, Pers pergerakan masih kerap mendapat tendesi yang mengecilkan. Apalagi bagi mereka yang berangkat dengan basis perjuangan tanpa memiliki sokongan yang memadai.

 

Belakangan hari, ramai soal rekaman suara diduga Kapolres Pringsewu, AKBP Yunus Saputra, dalam berbagai saluran media sosial seperti Tik Tok yang bunyinya menyampaikan himbauan kepada suatu golongan tertentu untuk tidak melakukan sesuatu.

 

Ada beberapa pesan yang dapat ditangkap dalam rekaman suara tersebut. Pertama, rekaman tersebut ditujukan kepada yang bukan wartawan dan mengaku-ngaku sebagai wartawan. Kedua, adanya intimidasi terhadap para pejabat dilingkungan wilayah Kabupaten Pringsewu dan ketiga, upaya untuk melindungi anggaran Negara dari kebocoran.

 

Himbauan yang tersiar dalam rekaman suara tersebut teruntuk ‘yang bukan wartawan dan mengaku-ngaku sebagai wartawan’ dirasa sangat multitafsir dan bias, karena tidak memiliki tujuan dan definisi yang jelas. Sebab, jika menilik kepada bunyi Pasal 1 ayat (4) dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, disebutkan jika wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

 

Artinya siapa saja orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik adalah ‘wartawan’. Sementara ‘yang bukan wartawan dan mengaku-ngaku sebagai wartawan’, sudah pasti tidak melaksanakan kegiatan jurnalistik dan tidak bisa disebut sebagai wartawan.

 

Mengapa dalam rekaman suara tersebut tidak langsung saja disebut ‘oknum wartawan’, sehingga pesan yang disiarkan itu bisa langsung sampai dan tepat sasaran, tanpa menimbulkan polemik multitafsir yang menimbulkan rasa sentimentil.

 

Berikutnya adalah pesan dalam rekaman suara tersebut yang berbunyi “jika anda masih melakukan intimidasi terhadap kepala dinas, kepala pekon, kepala sekolah dan kepala Puskesmas di wilayah saya, dengan dalih anda punya data penyelewengan anggaran untuk dipublikasikan pada media anda yang tidak ada yang baca itu, yang tidak terverifikasi di Dewan Pers itu, bahkan dengan ancaman akan melakukan audit segala yang bukan kewenangan anda itu, anda akan berhadapan dengan kami Polres Pringsewu”

 

Sebuah kata-kata tegas yang terkesan pasang badan demi melindungi para pejabat setempat dari tindakan intimidasi. Tapi sebagaimana hukum sebab-akibat bekerja, bisa saja intimidasi yang kerap diterima para oknum pejabat setempat itu merupakan buah dari perbuatan buruk mereka sendiri.

 

Seperti halnya dalam dunia jurnalis, ada saja oknum wartawan yang bertindak tidak sesuai ketentuan kode etik jurnalistik, dalam birokrasi juga terdapat oknum pejabat korup yang menyalahgunakan wewenangnya demi kepentingan pribadi maupun golongan.

 

Argumen yang sampaikan soal “dipublikasikan pada media anda yang tidak ada yang baca itu, yang tidak terverifikasi di Dewan Pers itu” memang dirasa sedikit agak mendiskreditkan media antimainstream. Padahal baik itu media besar atau media kecil pada hakikatnya adalah sama, baik dalam menjalan fungsi maupun perannya.

 

Dan memang tidak ada salahnya jika seorang wartawan memuat publikasi sebuah pemberitaan pada saluran media yang memiliki rating kecil atau tidak terverifikasi di Dewan Pers, karena memang belum ada regulasi yang jelas mengatur soal itu.

 

Sebagai seorang pengayom, apalagi sekaliber Kapolres, dengan segala kapasitasnya, secara moral sangat tidak pantas menyampaikan hal seperti itu jika hanya didasarkan kepada kinerja dari oknum wartawan yang dianggap kerap melakukan intimidasi.

 

Apalagi sampai menyebut-nyebut “Presiden Prabowo hendak melindungi anggaran Negara dari kebocoran, malah justru anda yang memaksa membocori anggaran Negara untuk perut anda sendiri. Anggaran ini untuk membangun Negara, untuk menyejahterakan masyarakat banyak, bukan untuk memperturutkan kekejian anda. Ini adalah peringatan terakhir, segera keluar dari wilayah saya, jika tidak kami akan tindak tegas dan bertobatlah, maka tuhan akan mengampuni kalian, uang itu tidak akan membuat kalian kaya, justru karena buruknya akan menurun ke anak cucu kalian,”.

 

Jika sang pemilik suara dalam rekaman itu mau sedikit berpikir secara bijak dan objektif, tentu dapat dilihat jika tingkat persentase kerugian yang disebabkan oleh oknum pejabat korup jauh lebih besar dan jauh lebih memberikan buruk bagi masyarakat. Lalu mengapa sejauh ini sang pemilik suara dalam rekaman itu tidak juga memberikan himbauan kepada oknum-oknum pejabat korup untuk segera bertobat dan keluar dari wilayahnya.

 

Hanya bedanya, uang hasil korupsi bisa membuat kaya tapi dampak buruknya juga sama akan menurun kepada anak cucu kalian.

 

Sebetulnya fenomena yang ada di Kabupaten Pringsewu juga terjadi hampir merata di seluruh wilayah republik ini. Hanya saja ada yang menanggapinya sebagai sebuah hal yang biasa dalam dinamika birokrasi, tapi ada juga yang ingin tampil dan eksen over power dengan memanfaatkan kapasitas dan wewenangnya.

 

Sedikit saran yang dapat disampaikan adalah, jika tidak ada oknum pejabat setempat yang berprilaku koruptif, maka tidak akan ada oknum wartawan yang coba melakukan intimidasi. Jangan malah menyudutkan salah satu pihak sementara ada pihak yang berbuat kekejian dengan merugikan orang banyak. Bukankah sebagai seorang terpelajar kita harus bersikap adil bahkan sejak dalam pikiran. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *